Teroris Teriak Teroris

Maling teriak maling sembunyi balik dinding,

Pengecut, lari terkencing-kencing…

(Iwan Fals, Maling Teriak Maling)

Celoteh Fals yang memboming di sekitar era ‘80-90 an itu begitu menggelitik hati. Betapa tidak, analogi bait di atas berseloroh jika seorang pencuri atau yang lebih trend disebut dengan maling, mampu memutar balikkan fakta dengan meneriaki yang lainnya sebagai maling.

Isu sentral di berbagai media massa saat ini secara serentak, ramai-ramai membuat agenda setting yang mengangkat tema seputar terorisme. Mulai dari tajuk, artikel-artikel hingga headline pun ramai untuk mencuatkan aksi-aksi teroris yang terjadi di belantara nusantara ini. Makna teroris begitu beragam, intinya adalah sebuah kelompok yang memiliki jaringan yang luas, berlapis-lapis, militan dan memiliki dana yang ‘kuat’. Selain lingkaran inti sebagai penggerak utama gerakan, juga terdapat setidaknya dua lingkaran lagi, yaitu pendukung dan simpatisan. Sangat mungkin terjadi, lingkaran luar (pendukung dan simpatisan) akan bergerak dan menggantikan lingkaran inti yang dimusnahkan (Syamsul, Jawa Pos, November 2005). Tugas para pemuda agar mampu berteriak “TIDAK” untuk menjadi pendukung dan simpatisan dalam lingkaran luar tersebut.

Mengikuti informasi teroris di berbagai media, menohok asa setiap jiwa dengan satu pertanyaan yang mungkin sama, benarkah teroris yang terjadi di Indonesia ini murni ‘teroris asli’? Ataukah semua konspirasi internasional pimpinan Amerika ini kepingin mengubah bait Fals di atas, dengan lirik barunya yaitu ‘Teroris Teriak Teroris’? Dua pertanyaan ini begitu sederhana, namun membutuhkan jawaban yang tidak mudah. Mengapa teroris yang memusuhi Amerika, Israel dan Australia ini malah melakukan aksinya di negara dunia ketiga seperti Indonesia ini. Padahal, letak geografis Indonesia jauh berada dari ketiga negara yang ‘dimusuhi’ teroris tersebut. Apalagi para pelaku bom bunuh diri itu --katanya-- banyak berasal dari umat Islam. Jika memang demikian, mengapa korban yang berjatuhan juga banyak didominasi oleh kalangan Islam?


Media Massa Versus Trust

Rancu? Jelas. Mengendus akar teroris ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, melihat aksi-aksi, profil dan style yang dilakukan hingga pemberitaan-pemberitaan yang ramai mengisi media massa menimbulkan pertanyaan tersendiri, benarkah pelaku ‘teroris’ tersebut adalah The Real pemuda Muslim? Sangat disayangkan, pemberitaan tentang penyergapan di beberapa tempat ‘teroris’ yang banyak ditemukan Barang Bukti (BB), intens mengekspose BB bacaan-bacaan Islam dan kitab suci Al-qur’an. Secara tidak langsung, isi media tersebut mengajak khalayak untuk membuat stigma negatif terhadap Al’quran atau bacaan-bacaan Islam lainnya, wa bil khusus buku bacaan yang bertemakan Jihad. Secara logika, jika memang benar mereka murni ‘teroris asli’, sangatlah mustahil untuk meninggalkan jejak, apalagi segudang BB. Bahkan, ditemukan pula BB berupa rekaman VCD yang berisi tentang konsep jihad yang mereka tekuni, sungguh aneh.

Sedikit menengok ke belakang dengan melihat peristiwa penangkapan Dr Azahari beberapa waktu lalu --Yang banyak meninggalkan kejanggalan-kejanggalan di lapangan. Membuat salah seorang kawan berseloroh, “Sebenarnya, banyak wartawan yang mengetahui kejanggalan-kejanggalan tersebut. Namun, mereka tidak menulisnya dan membuat berita yang lain,” kata seorang kawan yang juga berprofesi sebagai jurnalis di Jakarta.

Belum lagi terdapat beberapa judul headline yang begitu kontroversial yang dimuat dalam sebuah harian terkemuka di Jawa Timur. Antara lain, “Ngruki Tak Kenali Pengebom” (JP edisi 03 Oktober 2005) atau judul lain di harian yang sama (edisi 21 November 2005) yang memuat judul dengan tulisan “Depag Fasilitasi Ulama Antiteroris”. Jika kita memperhatikan makna judul tersebut, sepintas judul itu seolah memposisikan Ngruki sebagai biang keladi terjadinya berbagai teror di Indonesia (Muh. Kholid, JP, 12 Oktober 2005). Judul satunya pun seperti menyiratkan makna bahwa ada ulama yang pro teroris, Astagfirullohal adzim !!! Mengapa Pimpinan Redaksi atau Editor tidak menyortir judulnya. Jika ‘orang awam’ yang membacanya, sangat mungkin dapat membahayakan stigma mereka. Tanpa bermaksud su’udzon terhadap media tersebut, terbesit satu pertanyaan yang mengganjal, apakah media-media yang selalu kita konsumsi tersebut juga telah terintervensi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab? Semoga tidak.

Padahal, meminjam istilah Jalaluddin Rahmat, terdapat lima peranan jurnalis Islam yaitu sebagai pendidik (Muaddib), pelurus informasi (Musaddid), pembaharu (Mujaddid), pemersatu (Muwahid), dan pejuang (Mujahid). Namun, peranan sebagai Musaddid belum begitu nampak terlihat di beberapa media-media besar di Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim. --Jika ada baru segelintir. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan pemberitaan di media saat ini dapat memicu paradigma ‘sinis’ beberapa kelompok, atas belum maksimalnya peranan jurnalis sebagai Muwahid. Stigma-stigma ini akan datang, tak lain karena hilangnya kepercayaan khalayak terhadap pemberitaan-pemberitaan di media tertentu.


Sarat Muatan Politis

Aksi-aksi teroris yang terjadi di Indonesia, tidak sedikit yang berpendapat bahwa aksi mereka sangat tidak logis dan banyak mengandung unsur politis. Sebut saja, kontroversi ‘pelarian’ Omar Al- Faruq di penjara Baghram. Selain sulitnya menembus pertahanan penjara tersebut, mengapa ketika pelarian yang telah dilakukan Juli 2005 lalu, baru dapat diendus dan di ekspose media pada November ini. Pertanyaan yang layak diajukan, kemana seluruh jurnalis atau paparazzi dari Agustus-Oktober? Itu pun jika memang Al Faruq benar-benar ada. Karena, jika memang Al Faruq ada, mengapa ketika pelaksanaan sidang Ba’asyr beberapa waktu lalu, Al Faruq --Katanya mengait-ngaitkan Ba’asyr sebagai tokoh J.I-- tidak dapat didatangkan ke Indonesia. Atau jika memang Al Faruq itu ada, mungkin hanya bagian dari salah satu ‘karya-karya’ Amerika belaka.

Merekam artikel yang pernah saya baca di Republika, The Real J.I sebenarnya memang nyata. Namun, bukan Jama’ah Islamiyah seperti yang digembar-gemborkan. Melainkan Jewish Intelligence (Intel Yahudi). Karena itu, konspirasi besar internasional pimpinan Amerika untuk memerangi terorisme ini perlu diwaspadai. Karena tidak tertutup kemungkinan langkah ini akan menjadi pintu masuk bagi ‘gedung putih’ ‘mendoktrin’ para pemuda dan mengacaukan poleksosbud hankam Ibu Pertiwi. Apalagi, tidak sedikit yang berpendapat bahwa ancaman paling nyata terhadap Amerika saat ini adalah kelompok-kelompok Muslim. Padahal, siapakah yang sebenarnya lebih pantas untuk ‘mengalungkan gelar’ sebagai teroris. Umat Islam atau Zionis Amerika dan Israel ?!!

Masih terekam dengan jelas, jeritan-jeritan rakyat Afghanistan, Palestina, Bosnia, Khasmir dan belakangan Irak yang dibantai secara keji oleh Amerika dan sekutunya. Ironisnya, negara yang ---katanya--- ‘menuhankan’ Hak Asasi Manusia (HAM) justru membuat ‘catatan hitam’ dengan menodai apa yang dimaksud HAM tersebut.

Pada saat yang sama, Amerika dan sekutunya dengan begitu pongkahnya menuding sebagian umat Islam sebagai teroris dunia. Astagfirullohal adzim !!! Lebih ironis lagi, hingga saat ini hanya segelintir media massa yang berani menyuarakan, jika The True teroris adalah Amerika sendiri dengan berbagai ‘koleksi kebringasan’ yang telah ditorehkannya dalam sejarah percaturan dunia. Bukankah kekuatan pers sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik suatu negara?

Strategi Back To Nature

Perlu diingat, dalam menghadapi kejahatan dan segala perubahan keadaan dibutuhkan strategi yang canggih. Rosulullah SAW pernah memberikan satu contoh strategi dengan membangun kekompakkan. Saat itu, Rosulullah SAW berhasil membangun kekompakkan untuk melawan musuh dari luar dalam rangka menyelamatkan Madinah. Yang disentuh baginda Rosul saat itu adalah jiwa kebangsaan, jiwa cinta tanah air dan jiwa patriotisme, bukan sentimen ajaran agama. Kebersamaan dan kekompakkan menjadi suatu yang crusial dan faktor penentu bagi kemenangan Muslimin dalam medan Badar (Perang Badar). Strategi ini terdengar gampang-gampang sulit, gampang ketika kita kembali kepada fitrah yang selalu merujuk pada nilai-nilai mulia Al qur’an dan As Sunnah. Namun akan menjadi sulit, jika kita terlalu bermanja ria dan assyk terbuai dalam kubangan ghozul fikri yang semakin deras dilancarkan musuh-musuh Islam untuk menjauhkan serta memporak-porandakan umat Muslimin dari ajaran dan ukhuwah saudara-saudara se-imannya.
Naudzu Billahi Min Dzalik…

Duhai Pemuda tonggak pembangunan bangsa, Sadarlah, Bangunlah. Bangkitlah dari tidur yang lena, dari fatamorgana dunia. Di sana musuh kita tertawa terkekeh melihat goyahnya gerakan kita, menyaksikan perpecahan antar saudara. Kembali lah, kembali lah, kembalikan lah fitrah kalian seperti di masa-masa indah Islam yang pernah jaya, bersama-sama membangun bangsa dan memuliakan agama. Semoga…



Amerika Versus Pesantren

Sejak Amerika dan antek-anteknya menabuhkan genderang perang melawan ‘teroris’, umat Islam dituding sebagai pelaku utama dan dipetakan menjadi beberapa kelompok oleh mereka. Islam fundamental lah, ektrem lah, atau radikal. Anehnya, berbagai kalangan turut ‘latah’ serta mengiyakan pemetaan kelompok-kelompok Islam yang dibuat Amerika.

Memasuki era teror bom di Indonesia, pondok pesantren (ponpes) pun turut dibidik Amerika dengan tudingan sebagai media atau wahana kondusif produsen teroris. Celakanya, pemegang kuasa negara ini ‘merespon’ dan begitu ‘taat’ untuk membuat kebijakan nyeleneh nan aneh dengan membatasi dan mengawasi kurikulum di pesantren.

Padahal, banyak orang-orang besar di negeri ini yang besar karena jasa pesantren. Sepertinya, pemerintah tidak pernah merefleksikan makna, fungsi dan jasa yang telah ditoreh ponpes yang ada di bumi pertiwi ini.

Potret pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu pengetahuan dan keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Peran pesantren pun memiliki andil yang cukup besar, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sebuah alternatif yang akurat dalam membantu pendidikan di tanah air.

Bertahannya pesantren karena tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren.

Dari sini dapat ditarik garis linear tentang peranan dan letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian.

Apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion, berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap, dan lainnya (http://humasdepag.or.id/pesantren.php)

Lantas, dasar apa yang digunakan pemerintah untuk mengawasi, membatasi dan mencermati isi ceramah yang disampaikan kyai? Apakah ingin menyibukkan diri dengan membuat program kerja fantastis? Ingin mencari muka terhadap Amerika, agar embargo senjata jangan sampai terulang lagi? Atau memang ingin mendukung Amerika dengan program ghozul fikri-nya? Betapa banyak muatan politis atas kebijakan ini.

Kasus lain, beberapa pengajian di Garut dan di Tasikmalaya mulai dipersulit. Setiap halaqah (pengajian) yang ingin dilakukan Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jawa Barat, harus mendapatkan izin dari RT/RW dan diawasi (Republika, 06/12/2005), Masya Allah gejala apa ini? Apakah pemerintah tidak memiliki kerjaan lain?

Sebegitu tunduknya pemerintah terhadap intervensi Amerika dalam menyudutkan umat muslim, hingga konpirasi internasional pimpinan Amerika ini meluluh-lantahkan kultur agamis yang dimiliki bangsa ini. Indikator tersebut sangat nampak atas berlangsungnya ‘soft war’ antara Amerika dan pesantren melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial.

Padahal, masih banyak kerjaan lain yang harus dilakukan pemerintah. Misalnya, pengawasan dan pencermatan pemerintah lebih diprioritakan terhadap kinerja anggota legislatif-nya yang mengeruk uang masyarakat dengan hobinya yang gemar ngorup. Atau pengawasan terhadap para Nara Pidana (napi) kasus korupsi yang begitu eksklusif. Dua masalah ini lebih crusial untuk diawasi dan ditindaklanjuti, karena jelas-jelas nyata di depan mata kita dan merugikan seluruh elemen.

Buktinya, dibandingkan sebelas negara besar di Asia, korupsi di Indonesia tetap paling parah. Berdasar survei yang dilakukan lembaga konsultan internasional yang bermarkas di Singapura, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia mendapat poin 9,44. Rentang skor itu -dari yang terbaik sampai yang terburuk- adalah 0-10 (Jawa Pos, 06/12).

Di sisi lain, napi berduit bisa membeli fasilitas penjara. Mulai makanan enak hingga berhalo-halo melalui HP dengan sanak saudara. Meski ada aturan napi tidak boleh menggunakan ponsel di dalam tahanan, tetapi tidak sedikit napi yang menenteng HP. Kemudahan lain, mereka diperkenankan membawa barang keperluannya ke sel. Mulai TV, kulkas bahkan AC.

Napi berduit yang sudah lama menghuni sel sering keluar lapas. Dalih yang digunakan biasanya berobat. Di tengah jalan, tidak jarang napi tersebut bertemu keluarga atau istrinya. Bisa di rumah atau di hotel untuk sekadar melepaskan syahwatnya (Jawa Pos, 06/12). Astaghfirullah!!

Seharusnya, kasus ini lah yang harus diawasi, diamati dan ditindaklanjuti sesegera mungkin. Mengapa justru ponpes yang disudutkan. Padahal, tidak satu pun kurikulum ponpes yang membawa nilai makar atau nilai negatif lainnya.

Investigasi yang dilakukan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (Depag) Atho’ Mundzar selama Januari-Desember 2003 tidak menemukan satu kurikulum pun di ponpes yang mendorong penghuninya berbuat makar atau kekerasan (Jawa Pos, 04/11/2005).

Michelle Leslie, Ba’asyr dan Pesantren

Genderang perang Amerika dan sekutunya melawan pesantren dan umat Islam di Indonesia (khusunya), semakin jelas digaungkan. Intervensi mereka terhadap kebijakan pemerintah secara eksplisit dapat dilihat dari berbagai kasus di tanah air.

Pembebasan kontroversial Michelle Leslie, warga sekaligus model iklan Australia yang ditangkap atas kasus kepemilikan dua butir ekstasi, dapat terhindar dari ancaman 15 tahun penjara. Di satu sisi, rencana remisi Abu Bakar Ba’asyr justru digagalkan.

Kini, pengajian-pengajian dan pesantren intens mendapatkan tekanan dengan hilangnya kebebasan serta ketentraman dalam menyiarkan agama Allah. Bahkan, pemerintah melalui beberapa media massa tertentu ingin mengubah stereotipe baru masyarakat untuk menjustifikasi bahwa ‘teroris’ didominasi oleh para pria berjenggot yang gemar beribadah ke masjid atau media pengajian lain.

Celakanya, justifikasi yang mereka berikan salah besar dan sangat mungkin berdosa besar. Karena imbas dari justifikasi yang dimunculkan membuat orang memiliki stigma negatif terhadap para pria berjenggot.

Padahal, memelihara jenggot adalah sunnah Rosul dan pengajian-pengajian di pesantren atau di mana pun merupakan satu wujud keta’atan hamba terhadap Sang Khalik. Jika kegiatan ini dibatasi dan diawasi, apakah pemerintah lebih takut terhadap tekanan Amerika dibanding perintah Allah? Apakah Amerika memiliki tameng untuk menepis adzab dan kemurkaan Allah? Instropeksilah dan bersegeralah bertaubat penguasa bangsa ku, sebelum semuanya terlambat.