Amerika Versus Pesantren

Sejak Amerika dan antek-anteknya menabuhkan genderang perang melawan ‘teroris’, umat Islam dituding sebagai pelaku utama dan dipetakan menjadi beberapa kelompok oleh mereka. Islam fundamental lah, ektrem lah, atau radikal. Anehnya, berbagai kalangan turut ‘latah’ serta mengiyakan pemetaan kelompok-kelompok Islam yang dibuat Amerika.

Memasuki era teror bom di Indonesia, pondok pesantren (ponpes) pun turut dibidik Amerika dengan tudingan sebagai media atau wahana kondusif produsen teroris. Celakanya, pemegang kuasa negara ini ‘merespon’ dan begitu ‘taat’ untuk membuat kebijakan nyeleneh nan aneh dengan membatasi dan mengawasi kurikulum di pesantren.

Padahal, banyak orang-orang besar di negeri ini yang besar karena jasa pesantren. Sepertinya, pemerintah tidak pernah merefleksikan makna, fungsi dan jasa yang telah ditoreh ponpes yang ada di bumi pertiwi ini.

Potret pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu pengetahuan dan keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Peran pesantren pun memiliki andil yang cukup besar, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sebuah alternatif yang akurat dalam membantu pendidikan di tanah air.

Bertahannya pesantren karena tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh pesantren-pesantren.

Dari sini dapat ditarik garis linear tentang peranan dan letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia merdeka. Untuk bangsa yang lebih berkepribadian.

Apresiasi masyarakat Islam Indonesia terhadap pesantren makin hari makin besar, pesantren yang asalnya sebagai Rural Based Institusion, berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Jogjakarta, Malang, Semarang, Ujung Pandang, atau sub-urban Jakarta seperti Parung, Cilangkap, dan lainnya (http://humasdepag.or.id/pesantren.php)

Lantas, dasar apa yang digunakan pemerintah untuk mengawasi, membatasi dan mencermati isi ceramah yang disampaikan kyai? Apakah ingin menyibukkan diri dengan membuat program kerja fantastis? Ingin mencari muka terhadap Amerika, agar embargo senjata jangan sampai terulang lagi? Atau memang ingin mendukung Amerika dengan program ghozul fikri-nya? Betapa banyak muatan politis atas kebijakan ini.

Kasus lain, beberapa pengajian di Garut dan di Tasikmalaya mulai dipersulit. Setiap halaqah (pengajian) yang ingin dilakukan Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jawa Barat, harus mendapatkan izin dari RT/RW dan diawasi (Republika, 06/12/2005), Masya Allah gejala apa ini? Apakah pemerintah tidak memiliki kerjaan lain?

Sebegitu tunduknya pemerintah terhadap intervensi Amerika dalam menyudutkan umat muslim, hingga konpirasi internasional pimpinan Amerika ini meluluh-lantahkan kultur agamis yang dimiliki bangsa ini. Indikator tersebut sangat nampak atas berlangsungnya ‘soft war’ antara Amerika dan pesantren melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang kontroversial.

Padahal, masih banyak kerjaan lain yang harus dilakukan pemerintah. Misalnya, pengawasan dan pencermatan pemerintah lebih diprioritakan terhadap kinerja anggota legislatif-nya yang mengeruk uang masyarakat dengan hobinya yang gemar ngorup. Atau pengawasan terhadap para Nara Pidana (napi) kasus korupsi yang begitu eksklusif. Dua masalah ini lebih crusial untuk diawasi dan ditindaklanjuti, karena jelas-jelas nyata di depan mata kita dan merugikan seluruh elemen.

Buktinya, dibandingkan sebelas negara besar di Asia, korupsi di Indonesia tetap paling parah. Berdasar survei yang dilakukan lembaga konsultan internasional yang bermarkas di Singapura, Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Indonesia mendapat poin 9,44. Rentang skor itu -dari yang terbaik sampai yang terburuk- adalah 0-10 (Jawa Pos, 06/12).

Di sisi lain, napi berduit bisa membeli fasilitas penjara. Mulai makanan enak hingga berhalo-halo melalui HP dengan sanak saudara. Meski ada aturan napi tidak boleh menggunakan ponsel di dalam tahanan, tetapi tidak sedikit napi yang menenteng HP. Kemudahan lain, mereka diperkenankan membawa barang keperluannya ke sel. Mulai TV, kulkas bahkan AC.

Napi berduit yang sudah lama menghuni sel sering keluar lapas. Dalih yang digunakan biasanya berobat. Di tengah jalan, tidak jarang napi tersebut bertemu keluarga atau istrinya. Bisa di rumah atau di hotel untuk sekadar melepaskan syahwatnya (Jawa Pos, 06/12). Astaghfirullah!!

Seharusnya, kasus ini lah yang harus diawasi, diamati dan ditindaklanjuti sesegera mungkin. Mengapa justru ponpes yang disudutkan. Padahal, tidak satu pun kurikulum ponpes yang membawa nilai makar atau nilai negatif lainnya.

Investigasi yang dilakukan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (Depag) Atho’ Mundzar selama Januari-Desember 2003 tidak menemukan satu kurikulum pun di ponpes yang mendorong penghuninya berbuat makar atau kekerasan (Jawa Pos, 04/11/2005).

Michelle Leslie, Ba’asyr dan Pesantren

Genderang perang Amerika dan sekutunya melawan pesantren dan umat Islam di Indonesia (khusunya), semakin jelas digaungkan. Intervensi mereka terhadap kebijakan pemerintah secara eksplisit dapat dilihat dari berbagai kasus di tanah air.

Pembebasan kontroversial Michelle Leslie, warga sekaligus model iklan Australia yang ditangkap atas kasus kepemilikan dua butir ekstasi, dapat terhindar dari ancaman 15 tahun penjara. Di satu sisi, rencana remisi Abu Bakar Ba’asyr justru digagalkan.

Kini, pengajian-pengajian dan pesantren intens mendapatkan tekanan dengan hilangnya kebebasan serta ketentraman dalam menyiarkan agama Allah. Bahkan, pemerintah melalui beberapa media massa tertentu ingin mengubah stereotipe baru masyarakat untuk menjustifikasi bahwa ‘teroris’ didominasi oleh para pria berjenggot yang gemar beribadah ke masjid atau media pengajian lain.

Celakanya, justifikasi yang mereka berikan salah besar dan sangat mungkin berdosa besar. Karena imbas dari justifikasi yang dimunculkan membuat orang memiliki stigma negatif terhadap para pria berjenggot.

Padahal, memelihara jenggot adalah sunnah Rosul dan pengajian-pengajian di pesantren atau di mana pun merupakan satu wujud keta’atan hamba terhadap Sang Khalik. Jika kegiatan ini dibatasi dan diawasi, apakah pemerintah lebih takut terhadap tekanan Amerika dibanding perintah Allah? Apakah Amerika memiliki tameng untuk menepis adzab dan kemurkaan Allah? Instropeksilah dan bersegeralah bertaubat penguasa bangsa ku, sebelum semuanya terlambat.

Tidak ada komentar: